Pada 12 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) resmi menyatakan bahwa COVID-19 adalah pandemi global. Di Indonesia, pandemi COVID-19 berdampak pada kelompok remaja yang mengalami stres dan kecemasan akibat perubahan yang terjadi. Salah satu dampak yang signifikan adalah perubahan pola konsumsi harian mereka. Meskipun demikian, diet yang tepat tetap sangat penting selama pandemi COVID-19; mengonsumsi makanan dengan gizi yang cukup dan seimbang membantu remaja dalam meningkatkan sistem kekebalan tubuh mereka.
Selama pandemi, metode pembelajaran jarak jauh diperkenalkan melalui kebijakan belajar dari rumah oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Pembelajaran ini dilakukan oleh hampir semua lembaga pendidikan dengan tujuan memutus rantai penularan virus COVID-19 di sekolah. Metode pembelajaran daring menyebabkan anak-anak lebih fokus pada gadget, yang berdampak pada peningkatan risiko obesitas dan dampak negatif lainnya.
Pandemi COVID-19 juga mengakibatkan rendahnya tingkat aktivitas fisik pada remaja, terutama karena pola makan yang tidak teratur setelah mereka kembali ke rumah. Kurangnya aktivitas fisik yang dilakukan oleh remaja meningkatkan risiko obesitas. Aktivitas fisik yang rendah memiliki risiko 1,2 kali lebih besar menyebabkan obesitas pada remaja dibandingkan dengan aktivitas fisik yang dilakukan secara moderat atau berat. Tingginya angka obesitas adalah fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh lingkungan, kurangnya aktivitas fisik, konsumsi makanan berlemak tinggi, dan makanan berkalori padat. Faktor risiko ini terkait dengan aktivitas sedentari (kurangnya aktivitas fisik) seperti menonton televisi, bermain video game, dan menggunakan komputer.
WHO melaporkan kasus obesitas di Amerika Serikat mencapai 37% pada kelompok usia 6-11 tahun dan 34% pada remaja usia 12-19 tahun. Prevalensi obesitas pada remaja lebih tinggi daripada pada orang dewasa, yaitu lebih dari 32%. Di beberapa negara Eropa, seperti Inggris dan Amerika Serikat, terdapat 3.615 kasus positif COVID-19 yang memiliki masalah kelebihan berat badan sebesar 21% dan obesitas sebesar 16%. Indonesia berada di peringkat kedua dengan tingkat obesitas remaja sebesar 12,2%. Berdasarkan survei kesehatan Indonesia tahun 2013, prevalensi obesitas pada remaja adalah 15,4% dan dilaporkan meningkat menjadi 21,8% pada tahun 2018.
Pembatasan sosial yang diterapkan oleh pemerintah untuk mencegah penyebaran virus COVID-19 menyebabkan peningkatan risiko obesitas di Indonesia. Pada remaja dengan asupan energi berlebih (karbohidrat, lemak, protein), risiko mengalami obesitas meningkat 2,92 kali dibandingkan dengan remaja yang tidak memiliki asupan energi berlebih. Remaja yang mengonsumsi karbohidrat secara berlebihan berisiko 4 kali lebih besar mengalami obesitas dibandingkan dengan remaja yang mengonsumsi karbohidrat dalam jumlah cukup. Aktivitas fisik yang buruk pada remaja meningkatkan risiko obesitas 21 kali lebih besar dibandingkan dengan remaja yang melakukan aktivitas fisik dengan baik. Konsumsi makanan cepat saji secara berlebihan meningkatkan risiko kelebihan berat badan 1,46 kali dibandingkan dengan remaja yang jarang mengonsumsi makanan cepat saji. Remaja yang memiliki riwayat obesitas dari orang tua juga berisiko 1,5 kali lebih besar mengalami obesitas dibandingkan dengan remaja yang tidak memiliki riwayat obesitas.
Selama pandemi COVID-19, terjadi banyak perubahan perilaku gaya hidup seperti peningkatan pola konsumsi makanan dan frekuensi makan pada remaja akibat pembatasan sosial untuk mencegah penyebaran COVID-19. Kurangnya aktivitas fisik pada remaja akibat keterbatasan gerak meningkatkan risiko obesitas di Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian obesitas pada remaja selama pandemi COVID-19 di Provinsi Sumatera Utara.
Hasil penelitian ini menunjukkan mayoritas responden berusia ≥17 tahun (93,7%) dan perempuan (79,5%). Prevalensi obesitas di lokasi penelitian adalah 24,4%. Dari hasil penelitian, diketahui bahwa faktor riwayat obesitas, konsumsi karbohidrat, dan konsumsi protein berhubungan dengan kejadian obesitas. Remaja yang memiliki riwayat obesitas memiliki kemungkinan tiga kali lebih tinggi untuk mengalami obesitas dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat obesitas. Konsumsi makanan cepat saji juga meningkatkan risiko obesitas 1,5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang jarang mengonsumsi makanan cepat saji.
Namun, karakteristik demografi responden tidak menunjukkan adanya hubungan signifikan dengan faktor risiko obesitas pada remaja.
Penelitian ini menyoroti adanya hubungan signifikan antara riwayat obesitas dengan kejadian obesitas pada remaja selama pandemi COVID-19. Hal ini disebabkan oleh faktor genetik yang berhubungan dengan peningkatan berat badan, frekuensi makan berlebih, dan kurangnya aktivitas di lingkungan sekitar. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa remaja yang memiliki riwayat obesitas dari orang tua memiliki risiko 1,5 kali lebih tinggi mengalami obesitas dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat genetik obesitas dari orang tua. Masalah obesitas pada salah satu orang tua dapat menurunkan risiko obesitas sebesar 11,82% pada anak, sementara jika kedua orang tua obesitas, risiko obesitas pada anak meningkat menjadi 21,95%. Faktor lain yang berperan adalah DNA yang dimiliki manusia, di mana seseorang yang sehat dan memiliki berat badan normal tidak akan mengalami obesitas karena memiliki gen yang tidak terkait dengan peningkatan berat badan.
Penelitian ini juga menemukan adanya hubungan signifikan antara pola konsumsi karbohidrat dengan prevalensi obesitas pada remaja selama pandemi COVID-19. Nilai rasio prevalensi (PR) adalah 1,423, yang berarti bahwa responden yang memiliki pola konsumsi karbohidrat berlebih memiliki kemungkinan 1,4 kali lebih tinggi mengalami obesitas dibandingkan dengan responden yang tidak mengonsumsi karbohidrat berlebih dengan tingkat kepercayaan 95% (95% CI = 1,046-1,936). Penelitian ini sejalan dengan penelitian lain yang menyatakan bahwa asupan karbohidrat berlebih terkait dengan peningkatan risiko obesitas pada remaja. Asupan karbohidrat yang berlebih akan disimpan dalam bentuk lemak jika tidak digunakan sebagai sumber energi, yang pada akhirnya dapat menyebabkan obesitas.
Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan antara asupan protein dan obesitas pada remaja selama pandemi COVID-19. Asupan protein nabati berlebih pada remaja yang mengalami obesitas meningkatkan risiko obesitas dibandingkan dengan remaja yang tidak mengalami obesitas. Protein hewani yang dikonsumsi secara berlebihan juga menjadi salah satu penyebab obesitas pada remaja. Protein hewani, terutama yang tinggi lemak, dapat meningkatkan risiko obesitas karena kandungan asam amino esensial yang tinggi dalam protein hewani berpotensi meningkatkan sekresi insulin dan metabolisme lemak.
Hasil serupa juga ditemukan pada asupan makanan cepat saji. Remaja yang sering mengonsumsi makanan cepat saji memiliki risiko tiga kali lebih tinggi mengalami obesitas dibandingkan dengan remaja yang jarang mengonsumsi makanan cepat saji. Pandemi COVID-19, yang mendorong masyarakat untuk tetap di rumah, juga meningkatkan aksesibilitas makanan cepat saji melalui layanan pesan antar, yang semakin memudahkan remaja untuk mendapatkan makanan cepat saji. Berbagai promosi dan harga diskon juga mendorong peningkatan konsumsi makanan cepat saji, yang pada akhirnya berdampak pada peningkatan kasus obesitas pada remaja.