FGD Lintas Kampus Rumuskan Pendidikan Inklusif bagi Mahasiswa Non-Muslim di PTKIN

Daring/Zoom — 28 September 2025
Tim peneliti menghadirkan mahasiswa non-Muslim dari UIN Sumatera Utara dan UIN Yogyakarta dalam sebuah Focus Group Discussion (FGD) bertema “Pendidikan Inklusif pada Mahasiswa Non-Muslim di PTKIN” untuk memetakan pengalaman nyata, tantangan akademik, serta rekomendasi kebijakan di lingkungan perguruan tinggi keagamaan Islam. Diskusi berjalan interaktif dan terdokumentasi dalam notulensi, verbatim, serta matriks temuan tematik.

Sebagian besar peserta memilih PTKIN karena status kampus negeri, akses jurusan umum, jalur seleksi nasional, atau reputasi akademik—bahkan ada yang baru mengetahui status “kampus Islam” setelah diterima. Temuan ini menunjukkan PTKIN dipandang sebagai alternatif pendidikan tinggi yang kompetitif, bukan semata lembaga berbasis agama. Dalam kehidupan kampus, penerimaan sosial dinilai baik: relasi antarmahasiswa akrab, dosen umumnya toleran, dan tidak ditemukan pola diskriminasi langsung. Dinamika awal memang muncul—misalnya kebingungan soal atribut berjilbab atau kekhawatiran tinggal di asrama mayoritas Muslim—namun cepat mereda seiring interaksi. “Saya sangat diterima… justru jadi cepat dikenal karena berbeda,” tutur salah satu peserta.

Titik krusial ada pada mata kuliah wajib keislaman (Al-Qur’an, Hadis, Bahasa Arab, Ulumul Qur’an). Mahasiswa non-Muslim mengakui manfaat wawasan lintas iman, tetapi kesulitan kognitif dan literasi Arab membuat capaian belajar tidak setara. Di beberapa kelas, dosen memberi akomodasi pedagogis (tambahan waktu, model tugas alternatif, atau cara menghafal yang dimodifikasi), namun praktiknya belum merata dan sangat bergantung pada kebijakan personal pengajar.

Sebagian dosen membuka ruang dialog lintas iman (misalnya membolehkan perbandingan teks suci atau pendekatan “wawasan” alih-alih penguasaan doktrinal), sementara sebagian lain masih menuntut standar seragam. Para peserta menekankan urgensi pelatihan pedagogi inklusif agar standar akademik terjaga tanpa mengabaikan keragaman agama di kelas. Pada tataran kelembagaan, kekosongan fasilitas ibadah bagi mahasiswa non-Muslim diidentifikasi sebagai celah penting. Walau ruang sosial terbuka, absennya sarana fisik lintas agama menandakan inklusi masih bertumpu pada kultur—belum kokoh di level infrastruktur kampus.

Rekomendasi peserta: tiga sumbu perubahan

  1. Kebijakan kampus: penegasan regulasi inklusi lintas agama; sosialisasi bahwa PTKIN terbuka bagi semua.
  2. Kurikulum: opsi/mata kuliah agama sesuai keyakinan atau materi alternatif berbasis toleransi & multikulturalisme; akomodasi evaluasi belajar yang adil.
  3. Fasilitas: penyediaan ruang ibadah non-Muslim dan dukungan layanan kampus yang ramah keberagaman.
    Butir-butir ini dirumuskan konsisten di matriks temuan, notulensi, dan rekaman verbatim.

FGD menegaskan paradoks inklusi di PTKIN: jejaring sosial yang hangat dan saling menghargai sudah menjadi modal kuat, namun pekerjaan rumah masih berada pada kurikulum keagamaan, kompetensi pedagogis dosen, dan fasilitas ibadah yang setara. Temuan ini memberi arah kebijakan konkret bagi kampus untuk memindahkan inklusi dari ranah budaya ke arsitektur kelembagaan.