Bertentangan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), kawasan permukiman pesisir memiliki tingkat pengelolaan sanitasi lingkungan yang rendah dan kurang mendapatkan perhatian yang memadai. Masalah ini semakin diperburuk oleh rendahnya kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sanitasi. Pengelolaan sanitasi mencakup kebersihan pribadi dan lingkungan, termasuk sanitasi perumahan, pengelolaan sampah, dan penyediaan air bersih. Berdasarkan penelitian, air yang tidak aman, sanitasi yang buruk, dan kebersihan yang rendah merupakan penyebab lebih dari 10.000 kematian setiap tahunnya. Kurangnya pasokan air bersih, toilet, sistem pembuangan limbah, tempat pembuangan sampah, dan perumahan yang tidak sehat merupakan gambaran umum di kawasan pesisir, termasuk di Indonesia.
Pembangunan fasilitas sanitasi di kawasan pesisir relatif rendah dan tidak sebanding dengan jumlah penduduk. Akibatnya, banyak masyarakat yang masih buang air besar di tempat terbuka atau di sungai dan saluran drainase. Kelompok masyarakat yang tinggal di daerah kumuh, kemiskinan, dan rendahnya tingkat pendidikan semakin memperburuk kondisi ini. Selain itu, kurangnya kepemilikan toilet di rumah dan saluran pembuangan air limbah (SPAL) tanpa memenuhi persyaratan kesehatan berdampak pada kesehatan dan estetika lingkungan.
Upaya peningkatan kualitas air minum, perumahan, dan sanitasi nasional di Indonesia sesuai dengan standar SDGs menunjukkan bahwa hanya 7,42% yang memenuhi kualifikasi akses yang aman dan merata. Lebih dari itu, masih ada 25,42% yang tidak memiliki akses ke sanitasi yang layak, dan 9,36% di antaranya masih buang air besar sembarangan. Persentase cakupan sanitasi terbesar ada di kawasan pesisir. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat kurang peduli terhadap kebersihan lingkungannya. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengidentifikasi dan mengembangkan formulasi terkait perilaku sanitasi.
Beberapa penelitian sebelumnya seperti model partisipasi masyarakat yang diterapkan dalam program Community Based Environmental Health Promotion Program (CBEHPP) menunjukkan pelatihan dalam mengubah perilaku untuk menghentikan buang air besar sembarangan, serta pelatihan untuk masyarakat setempat. Namun, penelitian tersebut belum menghubungkan hubungan antara status tempat tinggal, peran gender, peran pemangku kepentingan, infrastruktur, sosio-kultural, dan sosio-ekonomi terhadap perilaku partisipasi masyarakat.
Penelitian sebelumnya lebih banyak berfokus pada aspek sosial ekonomi yang dapat memengaruhi perilaku masyarakat pesisir dalam mengelola sanitasi. Namun, beberapa faktor yang memengaruhi masalah lingkungan tidak dapat dilakukan secara optimal karena kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat. Kawasan pesisir Percut Sei Tuan adalah masyarakat yang memiliki keseragaman agama, gaya hidup, perilaku, dan karakteristik yang sama. Masyarakat di sana hidup di sekitar wilayah laut dan memanfaatkan sumber daya laut sebagai dasar kehidupan mereka. Selain itu, kebutuhan sehari-hari masyarakat bergantung pada sungai karena kemudahan akses.
Dalam pengelolaan sampah, masyarakat masih mengumpulkan sampah di depan rumah dan membuangnya ke sungai. Kebiasaan ini telah diwariskan dari generasi ke generasi sejak nenek moyang mereka. Pemandangan jamban menggantung yang hanya tertutup plastik dan tempat cuci darurat terlihat sepanjang sungai. Untuk mengatasi masalah kesehatan masyarakat, perlu mempertimbangkan semua aspek yang mempengaruhi masalah tersebut, bukan hanya aspek kesehatan saja. Dalam penelitian ini, aspek yang diidentifikasi untuk dipelajari adalah demografi, sosial ekonomi, budaya, peran gender, fasilitas, infrastruktur, dan peran pemangku kepentingan terkait dengan perilaku pengelolaan sanitasi berbasis masyarakat di kawasan pesisir.
Oleh karena itu, sangat penting untuk melakukan analisis faktor konfirmatori (CFA) guna memperoleh faktor-faktor komprehensif yang khususnya berlaku di kawasan pesisir. Hal ini karena peningkatan perilaku sanitasi merupakan langkah penting untuk meningkatkan status kesehatan dan kualitas sumber daya manusia.
Masyarakat setempat hampir seluruhnya merupakan penduduk asli dengan lama tinggal yang cukup lama. Penduduk asli pesisir Percut Sei Tuan adalah penduduk yang terdaftar di kantor kependudukan dan pencatatan sipil. Sebaliknya, penduduk imigran adalah penduduk yang baru pindah dari daerah lain dan belum terdaftar. Norma budaya setempat adalah konsep berkumpul dan berdiskusi setelah shalat di masjid.
Bekerja sebagai nelayan adalah hal yang umum di kawasan pesisir dengan penghasilan yang sangat rendah. Namun, budaya yang terkait dengan nilai dan norma selalu dipegang teguh oleh masyarakat sekitar. Peran perempuan dalam keterlibatan sanitasi cukup besar, tetapi fasilitas dan infrastruktur masih kurang memadai. Peran pemerintah, tokoh masyarakat, dan tokoh agama hanya efektif secara marginal dalam memobilisasi masyarakat untuk menjaga sanitasi lingkungan. Pada variabel perilaku, masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir masih memiliki pengetahuan yang sangat rendah, sikap yang buruk terhadap sanitasi lingkungan, dan tindakan yang masih sangat terbatas.
Berdasarkan analisis CFA (Confirmatory Factor Analysis), variabel-variabel yang secara simultan mempengaruhi perilaku sanitasi masyarakat pesisir adalah peran gender, peran pemangku kepentingan, fasilitas, infrastruktur, dan sosio-kultural. Hanya ada dua variabel yang tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku sanitasi masyarakat pesisir, yaitu jumlah penduduk dan status sosial ekonomi.
Perilaku masyarakat pesisir Percut Sei Tuan dalam membuang sampah ke sungai jika terus dibiarkan akan menyebabkan penurunan estetika dan daya dukung lingkungan, dapat mengakibatkan rendahnya kualitas permukiman, pencemaran air, serta menimbulkan penyakit dan banjir. Berdasarkan beberapa penelitian, sebagian penduduk miskin belum mampu memenuhi kebutuhan dasar dan sanitasi. Misalnya, nelayan yang menghabiskan waktu lama untuk menangkap ikan, sehingga tidak dapat berkontribusi dalam sanitasi lingkungan. Mereka hanya menghabiskan sedikit waktu di rumah dan lebih banyak waktu di sungai atau laut.
Kondisi ini menggambarkan perumahan dan sanitasi yang tidak memadai, di mana sungai Bandar Sidoras yang bermuara ke laut merupakan bagian integral dari kehidupan mereka. Setelah penyelidikan lebih lanjut, budaya lokal, peran gender, ketersediaan fasilitas dan infrastruktur, serta peran pemangku kepentingan adalah faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi dalam pengelolaan sanitasi. Nilai kepercayaan lebih berfokus pada aspek religius dalam variabel budaya.
Norma budaya seperti berkumpul dan berdiskusi setelah shalat terkadang jarang dilakukan dibandingkan dengan mereka yang sering melakukannya. Budaya mempengaruhi perilaku sanitasi dan memberikan gaya pengalaman bagi individu dalam masyarakat. Ini adalah seperangkat pedoman yang operasionalnya digunakan manusia untuk beradaptasi dan menghadapi lingkungan tertentu. Masalah pembangunan sanitasi merupakan tantangan sosial-budaya. Penyebabnya adalah perilaku masyarakat yang terbiasa buang air besar di sembarang tempat dan membuang sampah ke sungai. Hal ini terjadi karena masyarakat dalam satu kesatuan suku dengan identitas budaya masing-masing mengembangkan sistem mereka sendiri.
Akibatnya, budaya yang memiliki nilai, keyakinan, dan norma yang buruk menyebabkan pengetahuan, sikap, dan tindakan yang buruk terkait dengan sanitasi lingkungan. Perilaku buruk seperti ini sering kali menyebabkan pencemaran sungai, buang air besar di sungai, dan kurangnya partisipasi dalam pengelolaan lingkungan. Kawasan pesisir juga identik dengan pembagian peran gender. Peran perempuan dalam pengambilan keputusan terkait kontrol sanitasi lingkungan masuk dalam kategori sangat baik. Selain itu, gender memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku sanitasi karena perempuan membutuhkan fasilitas dasar yang berkualitas lebih baik.
Perempuan juga berperan dalam membina keluarga terkait sanitasi sebagai istri, pengelola rumah tangga, ibu (penerus dan pendidik anak), pencari nafkah tambahan, dan anggota masyarakat. Perempuan berinteraksi langsung dengan aktivitas air dan juga menjadi pengguna dominan dalam rumah tangga. Hal ini berbeda dengan laki-laki di pesisir yang pekerjaannya mencari ikan dan memenuhi kebutuhan ekonomi. Dalam hal fasilitas dan infrastruktur, sebagian besar penduduk di kawasan pesisir memiliki jamban pribadi dan toilet yang mewakili 68,1%. Masyarakat yang tidak memiliki fasilitas dan infrastruktur tinggal di tepi sungai, yang sangat kontras dengan masyarakat yang tinggal lebih jauh dari sungai.
Namun, masyarakat yang tinggal di tepi sungai buang air besar ke sungai, sedangkan sisanya meminjam dan menggunakan fasilitas toilet umum. Infrastruktur air bersih yang dominan menggunakan Perusahaan Daerah Air Minum, sumur bor, dan sumur gali. Beberapa penelitian juga menyelidiki hal yang sama bahwa tidak adanya fasilitas dan infrastruktur menyebabkan perilaku yang buruk dalam menjaga sanitasi lingkungan. Oleh karena itu, fasilitas dan infrastruktur harus disediakan untuk mencegah masyarakat buang air besar ke sungai. Selain itu, masyarakat yang meminjam dan menggunakan fasilitas toilet umum serta infrastruktur lainnya kurang memiliki kesadaran publik yang memadai dalam pengelolaan sanitasi yang tepat. Hal ini mengakibatkan kurangnya tanggung jawab dalam penggunaan fasilitas dan infrastruktur tersebut dengan benar. Berdasarkan data primer Sanitasi Lingkungan