Rabu, 10 Maret 2021
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UIN Sumatera Utara pada hari Rabu, 10 Maret 2021 melaksanakan kegiatan Sosialisasi Bantuan Penelitian, Publikasi dan Pengabdian Masyarakat yang dilakasanakan di Royal Suite Condotel Medan. Kegiatan ini dibuka oleh Rektor UIN Sumatera Utara Medan, Prof. Dr. Syahrin Harahap, M.A. Pada kesempatan tersebut, beliau menyampaikan pentingnya Penelitian yang menggunakan paradigma Wahdatul Ulum.
Berikut merupakan intisari dari pidato Rektor UIN Sumatera Utara Medan dalam pembukaan kegiatan Sosialisasi Bantuan Penelitian, Publikasi dan Pengabdian Masyarakat. Intisari ini ditulis oleh MS Albani, ketua Pusat Pengabdian kepada Masyarakat (PPM) – LP2M UIN Sumatera Utara Medan.
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (QS Ali Imran 190)
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS Ali Imran 191)
Islam memberi paradigma memperoleh ilmu pengetahuan melalui tiga cara:
- Belajar. Manusia terus belajar dan membelajarkan dirinya baik formal maupun non formal, sehingga akan diperoleh ilmu pengetahuan
- Melalui penelitian, termasuk penelitian melalui dialog. Terjadi dialog yang mendalam untuk mendiskusikan ilmu pengetahuan. Misalanua Kitab Tahafut al Falasifah yang ditulis Imam Ghazali lalu dibantah melalui Kita Tahafut al Tahafut Al Falasifah oleh Ibn Rusyd. Keilmuan akan terus berkembangan dalam khazanah penelitian melalui dialog akademik
- Renungan para ahli (kontemplasi akademik) dirumuskan dalam kerangka ilmiah dan jadi referensi. Dalam paradigm keilmuan. Tingkat yang paling tinggi dari semua proses itu adalah perenungan. Dalam perenungan seorang ilmuan akan memohon petunjuk dari yang maha memiliki Ilmu pengetahuan, bukan hanya diberikan daya berfikir dan analisis kritis yang mendalam, namun mampu membuka atau dibukakan pintu rahasia (asrar) sebagai hikmah dari sebuah ilmu.
Jika mau direnungkan, derajat ilmu yang tertinggi itu jika diperoleh dari Ushul (asal dari yang memiliki Ilmu). Bukan dari silsilah-silsilah atau dari ilmuan ke ilmuan. Tingkat originalitas keilmuan tercerna dengan matang melalui perenungan yang mendalam (kontemplatif). Maka sarjana Ka’bah yang menundukkan harapnya bukan hanya pada ilmu, tapi pada dzat ilmu tersebut akan selalu lebih hebat dari yang lainnya. Sentuhan kehebatan tersebut biasanya mengisi ruang keteladanan, kecakapan merubah keburukan menjadi kebaikan, ikut merubah peradabandan kehidupan.
Maka, melalui paradigma Wahdatul Ulum sebagai role UINSU dalam menjalankan tridarma perguruan tinggi lahirlah peta jalan (roadmaps) dengan Integration of Knowledge. Berpadulah Islamic science dan Islamic Studies tanpa ada dikotomi apapun itulah yang disebut dengan Penelitian Islam. Yang berikutnya terjadilah pengembangan ilmu pengetahuan yang outcome-nya menjadi artikel yang terbit di jurnal bereputasi nasional-internasional. Alat ukur idealisnya adalah kebutuhan dan rasa “haus’ masyarakat luas pada hasil penelitian civitas akademika UINSU. Hal ini akan terbukti lewat sitasi dari setiap artikel-artike peneliti UINSU pada jurnal-jurnal yang telah diterbitkan.
Secara metodologik, peta jalan penelitian UINSU itu dikerjakan dengan transdisipliner. Ada dua pendekatan yang bisa dilalui. Pertama, secara integrative. Kedua secara kolaboratif.
Pola transdisipliner integratif misalnya seorang peneliti hukum, melakukan penelitian dalam pendekatan hukum, juga meihat dan menelaah melalui pendekatan atau perspektif lainnya, bisa sosiologi, psikologi, ekonomi dan semua pendekatan yang harusnya mampu dihubungkan secara intgratif. peneliti tersebut tetap disebut sebagai peneliti hukum, hasil penelitiannya juga tentang hukum, kepakarannya tetap berhubungan dengan hukum, namun narasi ilmiah dan penelusuran akademik-nya telah melewati batas-sekat keilmuan yang membuat banyak peneliti “mandek” meluaskan paham dan khazanah keilmuannya.
Pola transdisipliner kolaboratif misalnya satu tema atau judul penelitian di teliti secara focus oleh lebih dari seorang peneliti dengan latar belakang keilmuan yang berbeda, namun tetap tidak merubah focus cara, metode dan hasil penelitian. Secara mandiri dan bebas sekat subjektivitas, masing-masing peneliti akan menggunakan latar belakang ke-ilmuannya untuk menelaah, menganalisa sampai pada merumuskan kesimpulan yang akan melahirkan hasil penelitian transdisipliner kolaboratif.
Maka, peta jalan (road maps) penelitian UINSU bernama Penelitian paradigm wahdatul ulum (integration of knowledge) kajian transdisipliner baik secara integrative maupun kolaboratif. Semua hasil penelitian UINSU akan memenuhi prinsip-prinsip penelitian berbasis Wahdatul Ulum. Secara sederhana disebut dengan prinsip Thawwafi (tawaf). Ter-sugesti dari jumlah tawaf setiap muslim yang melaksanakan haji, mengelilingi kakbah tujuh putaran, dengan penyerahan yang utuh hanya kepada Allah. Jasmani ikut pada perintah syariah, kaki berjalan mengelilingi ka’bah, lisan berdzikir-bertalbiah, bertahmid memuji Allah, akal berkonsentrasi dengan kekhusyu’kan semua amal dip-sembahkan hanya kepada Allah, namun semua rangkaian materi dan immateri tidak boleh berseberangan, terputus, berjalan sendiri-sendiri. Semuanya harus terhubung. Sehingga harap menjadi satu, hanya kepada Allah Swt.
Tujuh prinsip penelitian Wahdatul Ulum, (Thawwafi). Pertama, penelitian harus dilaksanakan dan disajikan secara ilmiah dan objektif. Sebab ini bagian yang terpenting dari seorang Ilmuan. Tidak boleh meneliti berdasarkan kepentingan pragmatis apalagi yang menyalahi syariah dan merusak peradaban-kehidupan manusia.
Kedua, transvision. Visi dalam meneliti silahkan langsung di-arahkan pada sumber tujuan, tapi yang tidak boleh hilang dari visi tersebut adalah keterhubungan semua visi itu dengan visi ketuhanan/ ketauhidan. Secara generic boleh-lah disebut tidak akan ada hasil peneltian yang cukup hebat jika semua penelitian tidak mampu bertemu dengan tujuan ketuhanan-nya. Menghungkan semua hasil pada harapan lita’abbudiyah. Hasil penelitian yang hanya energik secara horizontal, membangun kapasitas social tapi semakin kering pad kapasitas spiritual dan ketuhanan.
Ketiga, prinsip sunnatullah. Secara sederhana prinsip ini meleburkan peneliti pada prinsip mekanistik. (mendapatkan data melalui mekanisme kemanusiaan, keilmuan, akademik yang sudah diatur dengan sempurna). Penelitian tidak boleh hanya menggunakan daya hayal, imaginasi, sehingga membuat sesuatu yang tidak berwujud. Wujudnya harus tetap ada, namun energy tujuannya tidak boleh hanya berpijak pada tujuan tersebut. Semua penelitian harus bertemu pada tujuan tawhid-nya.
Keempat, prinsip internalisasi nilai (value). Pada prinsip ini peneliti-hasil penelitian tidak hanya dilihat pada keterhubungan ilmu dengan ilmu (science to science). Bukan hanya melihat ilmu dengan ilmu lainnya lalu hasil penelitian disimpulkan, namun harus ada nilai khusus yang dicapai. Bisa disematkan dalam kesimpulan, dan harus sudah di cicil secara naratif dalam setiap teori, pendekatan. Ghirahnya tidak hanya berhenti pada pengembangan keduniaan, namun hal-hal yang kedunia-an itu terhubung pada simpul vertical. Peneliti bertemu dan mempertemukan pembaca dengan tujuan asal dan hakikat dari semua pencariannya.
Kelima, prinsip bahsiyyah (bahsun). Sebuah penelitian dihasilkan bukan hanya rangkaian kerja akal, namun memiliki ghirah dan nilai dari hati. Prinsip bahsiyyah ini adalah prinsip yag digunakan untuk menemu-padukan hasil energy kritis dan telaah mendalam akal dengan kelembutan dan kejelian hati mengenali kebenaran. Kebenaran yang tidak hanya bermukim pada simpul akal, tapi kebenaran yang juga bertemu dengan kebenaran nurani, kebenaran yang paling sensitive dari kebenaran itu sendiri. Outcomenya adalah kesadaran yang utuh menerima kebenaran sebagai jalan hidup, bukan hanya sebagai pengetahuan.
Keenam, prinsip mashlahah. Bahwa hasil penelitian harus bertemu dengan kebenaran majemuk, tidak meninggalkan prinsip syariah dan asas dasar keimanan dan keislaman, namun hasil penelitian tersebut bertemu dengan kemanfaatan danperbaikan tatanan kehidupan masyarakat dan peradaban. Hasil penelitian tidak boleh merusak tatanan kebenaran dan kehidupan, tidak boleh mengadu domba, tidak boleh merusak negara, merusak kearifan local yang menjadi khazanah kehidupan manusia khususnya di Indonesia.
Ketujuh, prinip tawhid. Semua peneliti dan hasil penelitian harus ditujukan dan dihasilkan untuk menguatkan dan meng-utuhkan ketundukan kepada Allah Swt. Seorang peneliti harusnya akan semakin berbaur dengan rasa tunduk dan harap-nya pada Allah, sebab hasil penelitiannya adalah cara dirinya ber-ikhtiyar membuka hikmah dan rahasia Allah. Dan atas itu pula Allah bukan ilmu hikmah dan rahasia-Nya. Maka tidak aka nada kesombongan, keangkuhan apalagi hajat merusak tatanan kehidupan manusia. Melalui hasil penelitiannya.
Semoga Allah memebri kekuatan pada semua penelitia untuk mampu melihat dan memahami serta mensajika hasil penelitian berkarakter dan paradigm wahdatul ulum.
Wallahu a’lam